Indonesia rawan bencana, hal ini sudah kita ketahui sejak lama, terutama pemerintah. Namun setiap ada bencana pemerintah selalu gagap. Pemerintah selama ini cenderung reaktif (lawan dari proaktif) dalam menanggapi bencana yang terjadi, pemerintah baru benar-benar bergerak jika sudah ada korban, itu pun dengan mendadak dan kurang persiapan. Pemerintah tidak melakukan tindakan proaktif yang seharusnya dilakukan jauh-jauh sebelum bencana terjadi.
Terus menyalahkan tindakan reaktif pemerintah memang sangat tidak baik, karena bencana sudah terjadi dan butuh penanganan ekstra cepat maka yang sudah dilakukan saat ini memang masih lebih baik daripada tidak sama sekali. Hanya saja mengingat ancaman bencana alam selalu mengintai Indonesia, akan lebih baik jika sebagian melakukan tanggap bencana alam untuk bencana yang saat ini sedang terjadi, dan sebagian yang lain melakukan upaya-upaya proaktif tanggap bencana sejak saat ini untuk bencana yang kemungkinan terjadi di masa yang akan datang. Ada empat langkah proaktif yang bisa dilakukan pemerintah dalam upaya tanggap bencana.
Pertama menentukan kemungkinan zona-zona rawan bencana di kawasan rawan bencana (misalnya penentuan kemungkinan zona rawan di kawasan sekitar Merapi). Kedua adalah memasang detektor bencana (seperti detektor tsunami), selama ini saya rasa pemerintah sudah cukup memasang detektor bencana alam, hanya kurang perawatan dan penjagaan pada pemasangan detektor di beberapa tempat.
Ketiga adalah mempersiapkan lokasi-lokasi yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat pengungsian masyarakat. Lokasi pengungsian ini dipilih yang mampu memuat masyarakat yang ada, harta benda masyarakat yang memungkinkan dibawa mengungsi termasuk ternak beserta pakannya. Lokasi-lokasi yang akan dijadikan tempat pengungsian ini harus fleksibel, terutama dari segi jumlah, karena jumlah masyarakat selalu bertambah. Lokasi pengungsian ini juga harus mendukung kemudahan penampungan dan pendistribusian bantuan. Selain itu penetapan koordinator di tiap-tiap lokasi pengungsian harus dilakukan sejak lama. Sistem koordinasi dan pendistribusian bantuan juga sebaiknya mulai disiapkan agar ketika bencana kembali terjadi tidak terjadi kesemrawutan.
Langkah keempat ini adalah yang paling penting, yaitu memahami karakter masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana. Pemerintah sebaiknya bekerja sama dengan sosiolog dan antropolog. Langkah keempat ini penting untuk mengetahui apakah ada hambatan kultural yang harus diatasi ataukah tidak. Jika ada maka upaya untuk mengurangi hambatan itu secara bertahap harus dilakukan. Contoh akibat dari hambatan kultural yang tidak diatasi pemerintah (yang harusnya dilakukan sejak lama) dapat kita lihat dalam kasus letusan Merapi. Dalam bencana letusan Merapi, hambatan kultural menjadi penyebab utama banyaknya korban tewas, luka-luka, dan kehilangan harta benda yang tidak sedikit. Ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah menjadikan masyarakat lereng Merapi tidak bersiap-siap mengungsikan diri dan harta bendanya sejak Merapi berstatus “siaga level 2,” akibatnya ketika bencana benar-benar di depan mata mereka tidak sempat membawa lari harta benda mereka ke pengungsian, bahkan nyawa selamat pun sudah untung. Selain itu meskipun sudah jatuh banyak korban, beberapa warga di zona rawan bencana masih saja ada yang merasa aman di rumah mereka, pemerintah menjadi terpaksa untuk memaksa mereka mengungsi ke tempat yang lebih aman, dengan berbagai cara, padahal yang namanya paksaan biasanya tidak enak.
*Sumber: Rubrik Suara Mahasiswa, Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat edisi 1 Desember 2010, Penulis: Feni Tri Utami.