Saya adalah anak yang paling dekat dengan Bapak. Saya sering ngobrol dengan Bapak. Bapak banyak cerita mengenai masa mudanya. Bapak warga Samirono asli. Anak keempat dari 5 bersaudara. Orang tua Bapak dulu punya sawah dan buka usaha jasa angkut antar kota menggunakan kendaraan sapi dan gerobak. Mungkin ada bisnis yang lain. Tapi yang diceritakan Bapak baru itu atau mungkin hanya itu (seingatku).
Bapak ditinggal mati kedua orang tuanya sejak kecil. Bapak lahir diantara tahun 1938-1937. Untuk bisa sekolah, Bapak harus bekerja keras. Bapak berjualan es lilin, menjajakannya dengan berjalan kaki keliling Yogyakarta. Hingga berkilo-kilo jauhnya. Selulus SD Bapak bersekolah di SMP N 15 Yogyakarta. Sebuah SMP yang mirip SMK karena sudah ada penjurusannya.
Saat sudah dewasa Bapak sempat bekerja di Bengkel PJKA. Sebulannya gaji Bapak hanya Rp 100,00. Bapak tidak betah bekerja disana, selain gajinya sedikit, juga harus biasa berteman dengan
gumuk[1]. Saat Pertamina membuka lowongan pekerjaan, Bapak pun mendaftar. Bapak diterima menjadi tukang tembak di pertambangan, di Aceh. Bapak ikut orang Prancis. Gaji dari Pertamina Rp 4.000,00 per bulan plus
jatah beras (sepertinya selain beras juga ada, tapi saya lupa). Dari orang Prancis sendiri Bapak mendapat Rp 20.000,00. Diantar jemput pakai mobil. Sering diajak makan juga dengan orang Prancis tersebut. Sehingga
jatah beras Bapak pun jarang dipakai oleh Bapak. Tukang masak dan tukang kebun yang sudah lama bekerja dengan orang Prancis tersebut pun billang, “Enak banget hidup kamu, sudah berangkat di jemput, pulang diantar, gaji besar, tidak seperti kami yang sudah kerja lama, tapi tidak seenak kamu.”
Suatu ketika Bapak dilanda sakit kepala yang amat sangat. Orang Prancis membawa Bapak ke dokter. Setelah minum obat hanya hilang panasnya. Kata Bapak rasanya sakit sekali. Bapak pun pergi ke dukun (don’t try at home yah! Syirik, hehe). Kata si dukun Bapak disantet. Mbah dukun bertanya pada Bapak: “Kamu pilih harta atau nyawa?” Otomatis Bapak pilih nyawa. Jika pilih nyawa, mbah dukun menyarankan Bapak pergi ke Polonia Medan. Disana banyak orang Jawa. Bapak pun meninggalkan pekerjaannya di Pertamina.
Bapak pergi ke Medan. Bapak beli tanah 1 hektar di Medan Dua dari gajinya selama di Pertamina. Tapi Bapak hidup di Polonia. Bapak punya orang tua angkat. Bapak sehari-hari membantu orang tua angkatnya yang sudah tua. Pekerjaan Bapak motjok-motjok alias serabutan.
Suatu ketika ada orang yang bilang ke Bapak: “Kamu kok pekerjaannya kayak gini, jadi kepala Pom Bensin aja, disana ada lowongan.” Bapak pun menjadi Kepala Pom Bensin. Pom Bensin ini mempunyai hutang Rp 2 juta, nilai yang sangat besar saat itu. Setahun memimpin 1 juta rupiah hutang sudah terbayar. Pemilik Pom Bensin senang. Tidak begitu dengan karyawannya. Kata Bapak banyak karyawan yang tidak suka pada Bapak. Selama Bapak memimpin mereka tidak bisa mencuri. Daripada dimusuhi karyawannya Bapak memilih keluar dan kembali bekerja serabutan. Meski si pemilik sangat menyayangkan keputusan Bapak.
Setelah kembali motjok-motjok, ada sepucuk surat datang untuk Bapak, dari Pak Dhe Pertama. “Punya tanah di Jogja kok ditinggal-tinggal,” kata Pak Dhe dalam suratnya. Tentu isi suratnya tidak hanya itu, tapi inti isi suratnya itu. Bapak diminta pulang ke Jogja. Bapak pun pulang ke Jogja. Akhir tahun 1970-an. Kira-kira tahun 1978. Bapak membeli tiket pesawat seharga Rp 35.000,00.
Sesampainya di Jogja Bapak sementara menumpang di rumah Pak Dhe Kedua sambil menunggu rumah Bapak selesai dibangun. Bapak membangun 2 rumah berdinding tembok dan satu rumah berdinding bambu. Dulu banyak anak kuliahan yang mau kost di kost-an berdinding bambu loh! Salah satunya bahkan hampir tiap Lebaran menyempatkan diri silaturahim ke rumah. Sekarang sudah sukses.
Lanjut ke cerita tentang Bapak.
Tahun 1981 Bapak menikah dengan Ibu. Saat itu umur asli Bapak antara 43-44 tahun. Sedang Ibu antara 23-24 tahun. Bapak dipertemukan dengan Ibu oleh Bu Dhe Kedua dari Ibu. Hamil pertama Ibu keguguran. Alhamdulillah hamil kedua hingga keempat semuanya berhasil lahir dengan normal dan tidak kurang suatu apa pun, hehe. Selama tahun 80an setelah menikah ibu saya hamil 3x sehingga lahirlah 2 kakak saya (Mbak Eka & Mbak Dini), perempuan semua. Sedangkan tahun 90an adalah tahun terakhir ibu saya hamil & melahirkan.
Mbak Dini ini sebenarnya anak kesayangan Bapak. Tapi semakin beranjak dewasa Mbak Dini semakin jauh dari Bapak. Mbak Dini jarang meluangkan waktu untuk ngobrol dengan Bapak. Mbak Dini satu-satunya anak Bapak yang sering diajak Bapak bersepeda dini hari berkeliling di kawasan Yogyakarta, memutari ring road, dsb. Hingga ke kawasan desa-desa. Itu waktu Mbak Dini masih kecil. Bapak juga merasa anaknya yang paling mirip dengannya adalah Mbak Dini. Saat Bapak sakit keras, Bapak sering kangen dengan Mbak Dini.
Saya iri saat Bapak bercerita bersepeda keliling Jogja hanya mengajak Mbak Dini. Saya juga ingin. Menikmati sensasi sepeda pagi-pagi sebelum subuh dengan jarak super jauh, pasti seru! :D. Januari 2005 akhirnya saya berhasil memaksa Bapak untuk bersepeda dini hari keliling Jogja. Tapi saya kecewa, Bapak hanya mengajak bersepeda sampai ring road utara dan balik ke selatan setelah sampai Jakal. Saya minta yang jauh lagi, kira-kira dulu hanya sampai Jakal km 8. Saya minta pindah jalur selatan. Hanya sampai wilayah dekat Gembiraloka. Tapi asyik juga dinihari naik sepeda lewat jalan layang lempuyangan. Kalau siang tidak mungkin saya melakukannya, hehe. Saat nanjak hingga sampai di puncak jalan layang rasanya cukup seru. Turunnya pun asyik. Meskipun pasti lebih asyik kalau rute bersepeda lebih jauh lagi, misalnya keliling ring road seperti yang pernah dilakukan Bapak dan Mbak Dini. Tapi kata Bapak, Bapak sudah tua, sudah tidak kuat lagi.
Percaya atau tidak, selama saya bersepeda bersama Bapak di dini hari tidak pernah merasa capek loh. Padahal saya naik sepeda sendiri (tidak membonceng). Kecuali waktu ke Jakal km 8. Berangkatnya agak keju, jadi kadang harus menyempatkan diri untuk berdiri sebentar agar keju-nya berkurang. Pagi dan siang memang berbeda. Kalau siang, bersepeda jarak 2 km dijalan yang agak nanjak saja sudah nyerah. Mungkin karena sudah banyak polusi. Kalau pagi kan masih segar udaranya :D. Sayangnya, aktivitas bersepeda dinihari bersama Bapak hanya berlangsung sampai saya SMA. Yah, kalau Bapak sudah tidak mau, bagaimana lagi. Alasannya klise: Bapak sudah tua.
O iya, saya belum bercerita mengenai mata pencaharian Bapak. Sepulang dari Sumatra Bapak usaha kecil-kecilan. Kost pasti. Sewa Becak, tapi tidak bertahan lama. Warung kelontong merupakan usaha yang paling bertahan lama, hingga saya SMA. Awalnya Bapak buka di Jalan Colombo. Kurang lebih kalau sekarang posisinya di barat daya Apotek (samping Futsal Colombo). Dulu apotek itu, toko mebel loh.
Bapak terpaksa berhenti buka warung di Jalan Colombo karena kiosnya kebakaran. Saya nyaris terpanggang saat itu. Kalau Ibu saya tidak mengambil saya ditengah kobaran api yang semakin besar. Alhamdulillah karena ditolong Ibu, saya selamat sentousa, sedikitpun tidak terkena api. Malah rambut Ibu yang sedikit terkena. Saat itu saya belum sekolah, masih sangat kecil.
Bapak pun kemudian buka kios di depan rumah dengan sebuah gerobak kecil. Dulu saya suka-suka saja. Tetapi seiring bertambahnya umur saya merasa gerobak bapak membuat teras rumah jadi kumuh. Begitu pula menurut kakak-kakak saya dan ibu saya. Saya dengan sok-tahu merasa, sepertinya usaha warung kelontong Bapak tidak menguntungkan, tapi malah menambah biaya. Pertengahan SMA, kami berhasil membujuk Bapak untuk berhenti jualan warung kelontong. Gerobak reot milik Bapak pun berhasil disingkirkan.
Umur bertambah umur. Bapak tetap menganggap saya anak kecil. Hingga suatu ketika ada satu kamar kost yang tidak bisa disewakan karena pintunya rusak. Astaga, kenapa saya baru tahu. Kamar itu pun selama berbulan-bulan tidak disewakan. Hanya karena pintu rusak!? Saya pun mengajukan usul pada Bapak untuk mengajukan bantuan pinjaman modal di sebuah LSM yang menawarkan pinjaman tanpa bunga. Biar saya yang ngurus, kata saya.
Berkali-kali ke LSM tersebut, hasilnya nol. Akhirnya Ibu meminjam uang di PKK, untuk memperbaiki kamar tersebut. Setelah selesai, saya ditugaskan mempromosikan kamar kost tersebut. Tidak berselang lama, 3 kamar kost lain ikut kosong. Karena total kamar kost ada 8 berarti 50% kamar kost kosong. Saya dipercaya Bapak mengelola 4 kamar kost tersebut. Sangat seru dan menegangkan! Saya renovasi 4 kamar kost tersebut dengan hutang. Saya jadi mandor. Sehari bisa bolak balik toko besi lebih dari 3 kali!
Selesai direnovasi, kamar kost, saya promosikan. Saya tempel iklan kost di sekitar kampus UNY. Saya juga promosi lewat facebook. Banyak yang tanya, lihat, tidak jadi. Kekurangan kost kami tidak menyediakan garasi, meskipun pekarangan untuk parkir cukup luas. Yah, tahun besok saya usahakan bisa punya garasi untuk kost. Karena tidak ada garasi, satu kamar kost untuk satu anak saya patok harga yang cukup murah, Rp 2 juta per tahun.
Hari berganti hari kamar kost tidak laku-laku juga. Deg deg an. Kalau sampai tidak laku, bagaimana saya harus bayar hutang? Dan ini 50% dari total kamar kost! Menyangkut hajat hidup keluarga saya! Bukan saya sendiri! Alhamdulillah, setelah 1,5 bulan dipromosikan, akhir Agustus dan awal September semua kamar kost laku.
Kabar gembira itu tidak seiring dengan kondisi kesehatan Bapak. Sejak H+3 Lebaran Bapak keluar masuk rumah sakit. Awalnya kata dokter ini hanya karena Bapak kurang makan. Akhir-akhir ini memang Bapak susah makan, hingga membuat kami pusing bagaimana membujuk agar Bapak mau makan. Menurut pengakuan Bapak sudah sebulan Bapak tidak nafsu makan. Hari berganti hari kesehatan Bapak makin melemah. Bapak semakin kurus, sangat kurus. Terakhir Bapak dirawat di RS Sardjito. Untuk makan harus lewat selang. Bapak terlihat lemah sekali. Pasti sakit sekali.
Hari Jum’at 5 Oktober 2012 dokter dan perawat memberitahukan bahwa kemungkinan sembuh Bapak lebih kecil dibanding kemungkinan kematian. Tinggal menunggu keajaiban jika ingin Bapak sembuh, yang harus saya dan keluarga lakukan adalah membimbing Bapak untuk mengucapkan dzikir-dzikir, kata perawat. Saat mendengarnya saya biasa saja. Saya tidak percaya. Saya beberapa kali membaca kisah seseorang yang menderita kanker dan divonis hidup tidak lama lagi ternyata umurnya masih lebih panjang dari itu. Saya tidak begitu percaya dengan vonis dokter tentang umur. Apalagi Bapak saya tidak menderita kanker.
Meskipun saya tidak percaya dengan perkataan dokter dan perawat, saya sering berdo’a. Terutama ketika saya dalam perjalanan menuju rumah sakit. Berdo’a agar Allah SWT jangan mengambil Bapak dalam waktu dekat ini. Beri umur Bapak beberapa tahun lagi, harap saya. Saya ingin membahagiakan Bapak ketika saya sukses. Saya juga ingin ke Sumatra jalan-jalan dengan Bapak sambil mendengar cerita masa muda Bapak disana. Saya juga ingin pergi ke Danau Toba bersama Bapak. Saya ingin menghidupi Bapak dan Ibu serta memperbaiki kondisi ekonomi keluarga. Saya juga ingin menghajikan Bapak. Saya ingin Bapak tersenyum. Sejak sakit Bapak semakin parah Bapak tidak pernah tersenyum. “Ora isa (tidak bisa),” kata Bapak.
Tapi memang. Manusia boleh berencana, Allah SWT lah yang menentukan. Selasa 9 Oktober 2012 ba’da Maghrib, kata dokter Bapak telah menghembuskan nafas terakhirnya. Saya juga ada di rumah sakit saat itu. Saya tidak percaya. Saya terus berdo’a agar Bapak tidak diambil dalam waktu dekat ini. Kakak dan Ibu saya menangis. Saya terus berdo’a. Saya tidak percaya dengan dokter dan perawat. Saya terus berdo’a.
Mungkin amal dan perbuatan saya kurang, do’a saya tidak terkabul. Meski akhirnya saya menangis juga. Saya tetap belum percaya. Saya ikuti Bapak terus hingga ketika Bapak dimandikan dan dikafani di rumah sakit. Saat itu saya baru percaya bahwa Bapak memang sudah pergi. Bapak sudah pergi. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Itu pasti. Tapi ini terasa begitu cepat. Saya tidak menyangka jika Bapak selama ini sakit keras. Saya menyesal. Padahal perawat sudah bilang kalau Bapak tidak boleh tidur dan harus ditemani 24 jam tanpa henti, tepat disampingnya sambil terus dibimbing dzikr. Tetapi ketika mengantuk atau bosan saya beberapa kali meninggalkan Bapak tidur di pojok kamar. Saya menyesal. Hari-hari terasa berbeda tanpa Bapak. Tapi itu semua memang sudah menjadi takdir dari Allah SWT. Siapapun akan mati, soal kapan, itu rahasia Allah SWT. Mati itu pasti, kaya itu tidak pasti.
[1] Gumuk=oli/minyak kotor yang berwarna hitam pekat.