Ini sekarang aku mau share cerpen karangan N.H. Dini yang berjudul “Daun-daun Waru di Samirono.”
Intro:
Kenapa sih aku tiba-tiba posting cerpen ini, hehe. Jadi suatu ketika aku iseng search kata samirono di google. Terus salah satunya muncul cerpen ini, yang pernah dimuat di Kompas tahun 2004 lalu. Jadi tertarik. Jadi inget dulu di halaman rumahku ada pohon waru yang gede banget. Tapi sekarang udah gak ada. Sengaja ditumbangin gitu. Udah lama sih ditumbanginnya. Dulu inget suka main-main sama temen2 di bawah pohon waru itu. Halah, jadi nostalgila. Yaudah deh, cekidot nih cerpennya :)
**********************************************************************************************
Matahari bersinar lembut.
Tadi malam hujan yang mendadak menyiram bumi Mataram membikin orang-orang kaget namun berlega hati. Kemarau tiba-tiba terputus sejenak walaupun mungkin akan diteruskan selama dua atau tiga bulan mendatang. Seingat Mbah Jum, para tetangganya sering menyebut September karena berarti sumberé kasèp¹. Perempuan tua itu hanya mengenal nama-nama bulan Jawa melalui hitungan cahaya malam di langit: Jumadil Akhir, Ruwah…. Dia baru menyadari bahwa poso atau puasa sudah tampak di ambang waktu. Keluarga Bu Guru yang tinggal di rumah depan mengatakan bahwa hujan itu sebagai tanda bumi Mataram berduka dengan terjadinya ontran-ontran² di Surakarta. Karena menurut dia, meskipun Kartosuro dan Mataram sudah terpisah menjadi dua kerajaan, sesungguhnya masih terjalin kental.
Bagaimanapun juga, setelah meninggalkan keramaian Pasar Ndemangan, ketika Mbah Jum tiba di tanjakan yang membelok, tubuhnya masih terasa segar karena matahari yang redup. Padahal kemarin sore, untuk ke sekian kalinya dia menerima hantaman keras di dada kirinya. Dia tidak terlalu mempersoalkan dari mana asalnya rasa ngilu tersebut. Hingga saat keluarga Bu Guru menyuruh pembantu memanggil dia supaya makan di dapur, Mbah Jum masih tergeletak di ambèn-nya. Selesai makan, dia mengerok sendiri leher, dada, dan bahunya. Merah nyaris ungu warna bilur-bilurnya. Rupanya dia memang menderita masuk angin.
Langit mendung. Tampaknya kemurungan masih akan berlanjut hari itu. Pengaruh kelakuan dan suasana batin para priyagung³ sangat besar, kata seorang dari cucu Bu Guru. Mbah Jum percaya itu. Ketika Ngerso Dalem4 yang sepuh dulu kondur5 ke alam langgeng, bersama warga kota raja, wanita itu menyaksikan sendiri bagaimana selama tiga malam, bulan berwajah cemberut di langit kelam, seluas dua depa pandangan mata dilingkari sapuan benang kabut.
Untunglah alam tidak terlalu mengubah kondisinya jika orang kecil seperti dirinya bersedih hati. Karena jika hal sebaliknya yang terjadi, betapa akan mawut6-nya suasana dunia. Sebab jumlah kawulo7 di kota raja saja jauh lebih banyak daripada kaum njeron bètèng8. Belum terhitung yang berada di tempat-tempat lain.
“Mana galahnya, Mak?” seseorang menegur, berteriak dari seberang ketika dia tiba di puncak tanjakan.
Jalan yang dulu hanya dilalui kereta kuda, becak dan sepeda itu kini bisa dimuati empat bahkan mungkin enam berjejeran dari masing-masing jenis kendaraan tersebut. Ujung selendang dia angkat ke tentangan dahi guna melindungi mata dari cahaya yang telah berubah, bersinar menyilaukan.
Sambil mengawasi dari jauh siapa yang berseru, otak perempuan itu sempat berpikir. Panggilan kepadanya dimulai dari Lik, Mak, kemudian berubah menjadi Mbah9 dari waktu ke waktu menuruti perubahan penampilan tubuh dan lebih-lebih warna rambutnya. Kali itu, sebutan Mak tentu diucapkan oleh seseorang yang sudah cukup lama mengenal dia.
Laki-laki yang duduk di bangku warung seberang jalan menggerakkan tangan kanan di tentangan kepala sebagai pemberitahuan bahwa dialah yang menegur.
Mak Jum berhenti, berdiri tepat di pinggir trotoar menghadap ke seberang. Dia berseru menjawab. Tetapi, suaranya ditelan kegaduhan mesin kendaraan roda empat maupun dua, dikacaukan oleh putaran angin yang membawa debu siluman yang terangkat dari gerakan setiap benda di sana. Setelah dua kali kerongkongannya menggembung oleh teriakan, akhirnya wanita itu terdiam. Tangannya menunjuk ke arah belokan terdekat di hadapannya.
Lelaki di seberang jalan mengangguk sambil sekali lagi mengangkat lengan kanan memberi isyarat bahwa dia sudah paham. Lalu pandangannya tertuju ke kelokan. Di pojok sedang dibangun sesuatu, tampak luas dan besar. Bagian tepi dikelilingi pagar dari seng, namun tepat di belokan muncul dahan-dahan pohon waru, berkilau dalam kehijauannya yang pekat. Setiap daun tampak segar. Nyata masing-masing merupa dalam bentuk jantung. Barangkali mereka gembira setelah mandi-mandi air hujan malam kemarin.
“Berangkat cari daun waru, Lik Jum?”
“Sudah mendapat banyak daunnya, Mbah Jum?”
“Mari saya bantu menghitung daun warunya ya Mak Jum!”
Semua orang mengenal dia. Hanya pendatang baru, misalnya anak-anak yang mondok di kos-kosan, pengontrak rumah pengganti penghuni lama yang akan bertanya: siapa Mak atau Mbah Jum itu?
Dia tidak tahu usianya yang pasti. Pak Dukuh10 memberinya tahun kelahiran yang dikira-kira saja. Waktu itu penduduk harus didata karena negara sudah teratur dan merdeka, kata Pak Bayan11.
Mbah Jum sendiri tidak begitu yakin dari mana asalnya. Seingatnya, dia selalu tinggal di bilik belakang rumah Bu Guru. Hingga saat kecelakaan bus yang menimpa hampir setengah warga kampung, dia selalu menyapu dan membersihkan pekarangan. Bila ledeng tidak mengalir, dia mengangsu12 dari sumur di tengah kampung. Di belakang kepalanya bercampur aduk selaksa kenangan yang tidak pernah jelas gambarannya. Paling menonjol adalah kata-kata mengungsi, diiringi penguburan bersama setelah Merapi meluluhkan desa-desa di lerengnya. Lalu dia dibawa Bu Guru ke kota raja. Dia hanya mampu mengikuti pelajaran hingga kelas 3 Sekolah Rakyat13. Untuk seterusnya dia turut mengasuh anak-anak Bu Guru hingga besar, hingga Bu Guru meninggal dan anak-anak bergiliran berumah-tangga. Sekarang, seorang dari cucu Bu Guru juga menjadi pengajar di salah satu sekolah tinggi. Mbah Jum sulit mengingat sebutan tepat untuk guru di sana.
Di usia KTP 78 tahun, dia menjadi nenek bagi seisi kampung. Apa pun yang dipanggilkan warga kepadanya, Mbah Jum selalu menoleh dan menanggapi.
Sejak tabrakan bus, sebelum Bu Guru meninggal, Mbah Jum tidak dapat mengerjakan apa pun yang membutuhkan kekuatan pundak, punggung, dan pinggulnya. Dia tetap menjadi bagian keluarga Bu Guru. Makanan tidak sulit, karena di mana-mana orang mengulurkan sepincuk nasi bersama lauk, segelas teh atau air. Sedangkan di dapur keluarga Bu Guru, dia mendapat sajian di atas papan rak. Nasi lengkap dengan masakan hari itu. Di dalam kardus di tentangan kepala ambèn, dia selalu mempunyai dua pakaian bersih dan cukup bagus untuk dikenakan buat réwang. Di saat-saat ada hajatan, penduduk kampung tidak melupakan bantuan Mak Jum. Karena dia masih bertenaga untuk mengupas, membersihkan atau mengiris sayur. Namun, pekerjaan tetapnya adalah mencari daun waru.
Pembuat tempe dan tahu berderet nyaris sepanjang kampung. Tetapi, yang mengerjakan tempe gembus hanya satu. Sejak dia disebut Lik sampai kini, Mbah Jum merupakan satu-satunya pemasok daun waru sebagai pembungkus tempe gembus spesial dari kampung tersebut. Daun pisang sudah lumrah digunakan. Tetapi harganya lebih mahal, karena tempe lebih bergengsi daripada ampas tahu. Apalagi jika dikemas di dalam daun pisang. Untuk mengurangi pengeluaran, seorang pedagang membungkus limbah tersebut dengan daun waru.
Beberapa tukang becak yang mangkal di kelokan jalan bergantian mengucapkan kalimat-kalimat ramah. Seorang dari mereka menarik sebatang bambu yang diselipkan di antara dahan pohon waru.
“Daunnya hari ini bersih-bersih, Mbah,” katanya sambil menyerahkan galah kepada perempuan berambut abu-abu itu.
“Nuwun, Mas, nuwun,”14 kata Mbah Jum sambil melepas selendang pengikat gendongan, lalu meletakkannya di dalam tenggok15 di tanah.
Tanpa menunggu, dia langsung menengadah, mengaitkan pisau di ujung galah ke ranting-ranting yang bisa dia gapai. Maka berjatuhanlah puluhan tangkai sarat dengan daun-daun waru. Benar, semuanya bersih. Bahkan yang terlindung dari pancaran matahari pagi masih mengandung titik-titik air bekas hujan semalam.
Dari sisi jalan belokan, Mbah Jum pindah ke sisi Jalan Colombo. Beberapa ranting tersangkut di pagar seng.
“Sebentar lagi panas terik, Mbah,” kata seorang kuli bangunan yang mengaduk pasir dan semen, “ini sedang ketigo16. Kalau yang nyangkut tidak diambil, sebentar lagi kering.”
“Biar nanti saya bantu mengambilnya, Mbah,” kata kuli yang lain.
Mbah Jum mendengar komentar itu, tetapi tidak peduli. Dia terus menengadah. Terus mengait dan ranting berdaun waru terus berjatuhan. Di sana, di dekat, tersangkut di pagar seng, lalu ada yang menimpa dirinya. Masih terus saja Mbah Jum menengadah. Untuk mendapatkan uang paling sedikit Rp 3.000, timbunan ranting harus menggunung setinggi lututnya. Selembar daun dihargai tiga puluh rupiah. Meskipun di bawah lipatan pakaian di kardus dia masih menyimpan beberapa ribu rupiah sisa upah membantu dapur kondangan lalu, tetapi dia harus menambah lagi. Lebaran mendatang dia ingin membeli kain bercorak parang yang sudah lama dia idamkan.
Dia harus memanfaatkan waktu. Pedagang tempe sekarang sudah hampir semua tidak menggunakan daun pisang lagi. Juragan tempe gembus bahkan berkata akan meniru orang-orang di lain kampung, menggunakan kantongan plastik ukuran kecil. Jika saat itu tiba, Mbah Jum akan kehilangan satu-satunya andalan pemasukan nafkahnya yang pasti.
Kadang kala semut-semut ngangrang merah menggandul dan merambat turut jatuh. Sekali-sekali Mbah Jum menebaskan tangannya ke tubuh untuk mengusir binatang-binatang itu dari pakaiannya. Kepalanya terasa basah oleh keringat. Udara panas menekan. Pelipis dan dahi dialiri peluh, menitik dan menetes masuk ke mata.
“Hari ini tidak bawa capingnya to Mbah?” kuli bangunan bersuara lagi.
Kali itu Mbah Jum menyahut,
“Sudah bolong-bolong dan jepitan pinggirannya lepas.”
“Harus beli lagi. Di Pasar Ndemangan ’kan ada!”
“Tidak, harus di Beringarjo kalau mau beli itu,” kuli lain membantah temannya.
“Ya jauh kalau dari Ndemangan,” kuli lain menggumam, seolah-olah kalimat itu ditujukan kepada dirinya sendiri.
Percakapan itu lamat-lamat sampai di telinga Mbah Jum. Mendadak terasa tusukan ribuan jarum di dada kirinya.
“Lho Mbah! Lho Mbah! Ada apa?”
Dua kuli mendekat, menggotong lalu membaringkan wanita itu di tempat yang datar.
“Di, lepaskan paculmu. Kemari!”
“Ini adukan kedua! Nanti mengering!”
“Gebyur air yang banyak. Cepat panggil tukang-tukang becak situ!”
“Ya, benar. Di antara mereka ada yang tahu rumah simbah ini, cepat, Di!”
Sayup-sayup Mbah Jum merasakan kain yang basah disentuhkan, digosokkan di leher, kemudian dikompreskan di dahinya. Dia sempat berpikir bahwa pasti itu adalah ujung selendangnya yang telah dicelup ke ember buat mengaduk semen.
Sesudah itu, dia tidak merasa apa pun. Tidak mendengar apa pun.
Sendowo September 2004
Catatan:
1. sumbernya terlambat, tidak ada hujan/air
2. kekacauan
3. bangsawan, petinggi
4. Yang Dipertuan
5. pulang
6. jungkir balik
7. rakyat biasa
8. orang-orang bangsawan
9. Lik, dari kata bulik = tante. Mbah dari kata simbah = nenek
10. Lurah, kepala kawasan
11. sekretaris kelurahan
12. menimba dan mengusung air
13. SD
14. terima kasih
15. wadah seperti keranjang bulat, terbuat dari anyaman bambu padat
16. musim kemarau
Kompas Minggu, 24 September 2004
**********************************************************************************************
Btw kok ndeso banget ya kayaknya Samirono itu, hehe. Sebenernya nggak gitu gitu banget kok, hehe. Buktinya disini sejak aku kecil dulu udah nggak ada sawah kok. Di Timoho yang dekat Balai Kota malah masih banyak sawah. Hehe, Entahlah, hidup Samirono!! Hahaha.